Siaran Pers

Bentang Alam Wehea-Kelay, Potensi Ekowisata Primata dari Kaltim

hutan wehea
Borneo, Indonesia The dense tropical Wehea forest in the Kalimantan region of Borneo, Indonesia. © Bridget Besaw
Wehea Forest
Wehea-Kelay Hutan Wehea tropis yang lebat di wilayah Kalimantan Kalimantan, Indonesia. © Bridget Besaw

Tidak hanya terkenal akan wisata baharinya dengan kepulauan Derawan dan Maratua, Kalimantan Timur juga memiliki sederet potensi wisata alam yang ciamik yaitu dari ekosistem karst, sungai dan hutan. “Kalimantan Timur sedang menyusun peta jalan benchmarking ekowisata secara nasional dan internasional,” ujar Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Kalimantan Timur Sri Wahyuni dalam webinar “Pengembangan Ekowisata Alam dan Primata di Bentang Alam Wehea-Kelay, Kalimantan Timur” pada Rabu, 23 September 2020.

Webinar daring ini diisi oleh pembicara dari Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan yaitu Direktur Jendral Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Wiratno, Ketua Forum Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) Wehea-Kelay Ence Achmad Rafiddin Rizal, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Kalimantan Timur Sri Wahyuni, dan Guru Besar Biologi Konservasi FMIPA Universitas Indonesia Prof. Dr. Jatna Supriatna. Adapun moderatornya adalah Manajer Senior Yayasan Konservasi Alam Nusantara Niel Makinuddin.

Saat ini Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur memulai pemetaan dan kajian untuk potensi ekowisata yang akan dikembangkan. “Nantinya pemerintah provinsi akan menetapkan sejumlah proyek percontohan ekowisata yang mewakili tiap tipologi,” ujar Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Kalimantan Timur Sri Wahyuni. Artinya, Kalimantan Timur akan memiliki percontohan ekowisata yang mewakili sungai, laut, hutan, dan gua.

Profesor Jatna mengatakan, pengelolaan kawasan konservasi memerlukan paradigma baru. Sejatinya kebutuhan konservasi bisa diselaraskan dengan pengembangan pariwisata dengan mengusung paradigma kepariwisataan berkelanjutan yang biasa diterapkan lewat konsep ekowisata. Dalam hal ini,  masyarakat adalah subyek dan penerima manfaat utama dengan mengembangkan kawasan berdasarkan kebutuhan masyarakat. “Kita perlu fokus pada kreativitas manusia,” ujarnya.

Profesor Jatna melihat bahwa Kalimantan Timur yang memiliki keanekaragam hayati tinggi berpeluang besar untuk mengembangkan tur satwa liar. Ia mengatakan, “Akan menarik apabila Wehea-Kelay bisa dikembangkan, apalagi wilayah ini punya satwa endemik yang berstatus kritis, yaitu orang utan. Orang utan bisa menjadi ikon wisata primata yang menarik banyak pelancong. Orang di seluruh dunia pasti banyak tertarik untuk melihat satwa yang hampir punah.”

Ketua Forum KEE Wehea-Kelay Ence Achmad mengatakan bahwa penyelamatan orang utan menjadi kunci para pemangku kepentingan di Bentang Alam Wehea-Kelay. Sebanyak 23 anggota forum yang mewakili pemegang izin konsesi kehutanan, pemegang izin konsesi sawit, akademisi, pegiat lingkungan, pemerintah daerah, dan perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup berkolaborasi untuk mengelola kawasan seluas 532 ribu hektare. Salah satu wujud hasil kolaborasi tersebut adalah identifikasi populasi orang utan yang diperoleh estimasi sekitar 1.200 individu. “Kami ingin mengembangkan lebih jauh kawasan ini menjadi kawasan pendidikan, kawasan ekowisata yang bisa beriringan dengan kawasan ekonomi produktif,” kata Ence Achmad.

Direktur Jenderal KSDAE Wiratno mengingatkan bahwa potensi sumber daya terbarukan di Kalimantan Timur ini besar sekali. “Tapi memang untuk mengelolanya, perlu ada kolaborasi multipihak (inklusif),  desain besar, desain bersama, termasuk dengan para politikus,” ujarnya dalam kesempatan yang sama. Wiratno pun sepakat dengan penjelasan Profesor Jatna bahwa pengelolaan kawasan konservasi harus berbasis masyarakat, masyarakat menjadi pelaku utama yang penting. “Saya melihat optimisme itu ada, mudah-mudahan Wehea-Kelay bisa menjadi purwarupa,” kata Wiratno. Ia meminta isu tentang pengelolaan Wehea-Kelay ini lebih sering dibicarakan di tingkat tapak, mulai dari warung kopi di sepanjang jalan Wehea-Kelay, hingga para penentu kebijakannya.

Manajer Senior YKAN Niel Makinuddin menambahkan, pengembangan ekowisata primata di Kalimantan Timur memang masih akan melalui jalan panjang. Namun, provinsi ini memiliki keunggulan, karena sudah memulai dengan kolaborasi. “Hanya tinggal memobilisasi sumber daya yang ada, baik manusia, modal, maupun alamnya,” kata Niel. Apabila sudah terkelola dengan baik, alangkah baiknya memulai dengan proyek percontohan. Dari hal-hal yang kecil tersebut, kemudian bisa direplikasi di tempat lain. Bentang Alam Wehea-Kelay, siap menjadi tempat proyek percontohan tersebut.

Penasehat Senior PT Gunung Gajah Abadi Soeyitno Soedirman mengapresiasi ide-ide pengelolaan ekowisata di Wehea-Kelay. Sebagai perwakilan dari pengusaha yang berlokasi di kawasan tersebut, Profesor Soeyitno mengatakan perlu kolaborasi untuk menyusun master plan ekowisata. Master plan ini akan mencakup pemetaan potensi, zonasi wilayah (konservasi dan ekonomi), serta pembagian peran antar pemangku kepentingan. “Kami mendorong multiusaha di bidang kehutanan, karena masih banyak potensi yg perlu dikembangkan di kawasan hutan produksi,” ujar Profesor Soeyitno.

Tentang YKAN

Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) adalah organisasi nirlaba berbasis ilmiah yang hadir di Indonesia sejak 2014. Memiliki misi melindungi wilayah daratan dan perairan sebagai sistem penyangga kehidupan, kami memberikan solusi inovatif demi mewujudkan keselarasan alam dan manusia melalui tata kelola sumber daya alam yang efektif, mengedepankan pendekatan nonkonfrontatif, serta membangun jaringan kemitraan dengan seluruh pihak kepentingan untuk Indonesia yang lestari. Untuk informasi lebih lanjut kunjungi ykan.or.id.