Nelayan Sabu Raijua hidupkan kearifan lokal
Keterangan Foto Warga Liae dan Hawu Mehara di Sabu Raijua menghidupkan kearifan lokal dan kesadaran ekologis lewat kegiatan “Bumi Ina Ama Tana”. © Adia Puja Pradana/YKAN

Perspektif

Bumi Ina Ama Tana: Saat Warga Sabu Raijua Bangkit Bersama Alam

Cerita dari Liae dan Hawu Mehara, Nusa Tenggara Timur

Oleh Adia Puja Pradana, Communications Specialist Ocean Program YKAN | 22 Oktober, 2025 | 3-menit membaca

Adia Puja
Adia Puja Pradana Communications Specialist Ocean Program YKAN

Selengkapnya

Di tengah derasnya arus modernisasi yang kerap mengikis tradisi serta tantangan krisis iklim, masyarakat di Kecamatan Liae dan Hawu Mehara, Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, memilih jalan berbeda. Mereka menghidupkan kembali kearifan lokal dan membangun kesadaran ekologis melalui sebuah rangkaian kegiatan bertajuk “Bumi Ina Ama Tana: Pengalaman, Alam, dan Cerita”.

Baca juga: Berada di Hutan Lindung Wehea

Program yang digagas oleh Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) dengan mitra Institute for Resource of Governance and Social Change (IRGSC) ini melibatkan masyarakat dalam diskusi, observasi, hingga aksi kolektif untuk merumuskan cara menjaga lingkungan sekaligus memperkuat kedaulatan pangan sebagai upaya beradaptasi menghadapi krisis iklim.

Keterangan Foto Masyarakat di Kecamatan Liae dan Hawu Mehara, Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, menghidupkan kembali kearifan lokal dan membangun kesadaran ekologis melalui sebuah rangkaian kegiatan bertajuk “Bumi Ina Ama Tana: Pengalaman, Alam, dan Cerita”. © Adia Puja Pradana/YKAN
Keterangan Foto Masyarakat diajak berjalan menelusuri hutan larangan, berdiskusi di ruang publik, hingga saling berbagi pengalaman lintas generasi. © Adia Puja Pradana/YKAN

Dalam kegiatan ini, masyarakat diajak berjalan menelusuri hutan larangan, berdiskusi di ruang publik, hingga saling berbagi pengalaman lintas generasi. Mereka menceritakan bagaimana alam dulu memberi makan, menenun, hingga menjaga keseimbangan hidup.

Dari proses itu lahirlah dua inisiatif besar:

  • Hutan Larangan Liae__hutan pangan (food forest), yaitu hutan pangan yang bisa jadi sumber belajar dan ketahanan pangan.
  • Rumah Daon di Hawu Mehara, ruang komunitas untuk menghidupkan kembali kreasi tenun ikat dan inovasi berbasis sumber daya lokal.

Kegiatan ini bukan sekadar nostalgia pada tradisi, melainkan upaya nyata menghadapi tantangan ekologi. Resiliensi akan tumbuh lebih kuat ketika ia berakar pada jati diri masyarakat. Hal ini mendasari kegiatan adaptasi iklim yang membangun proses pemberdayaan komunitas bersama dengan alam. 

Diskusi dan aksi kolektif membuat masyarakat semakin paham bahwa perubahan iklim, krisis air, dan kerusakan alam adalah masalah bersama yang hanya bisa dihadapi dengan kerja sama.

Keterangan Foto Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) dengan mitra Institute for Resource of Governance and Social Change (IRGSC) ini melibatkan masyarakat dalam diskusi, observasi, hingga aksi kolektif untuk merumuskan cara menjaga lingkungan sekaligus memperkuat kedaulatan pangan sebagai upaya beradaptasi menghadapi krisis iklim. © Adia Puja Pradana/YKAN

Dari rangkaian kegiatan, muncul narasi baru yang menggabungkan cerita lama dengan semangat baru. Cerita rakyat, seni, hingga karya visual dijadikan media untuk memperkuat kesadaran ekologi.

Community Gathering ini menjadi contoh bagaimana komunitas lokal mampu menciptakan solusi kontekstual terhadap krisis iklim global. Dengan menghidupkan kembali kearifan lokal dan solidaritas, masyarakat setempat sedang menulis bab baru perjuangan mereka untuk keadilan ekologis dan memperkuat resiliensi mereka atas perubahan yang terjadi.

Adia Puja

Communications Specialist Ocean Program YKAN

Tentang Adia Puja Pradana