Kawasan Huliwa
Harmoni Jalan yang membelah lebatnya Hutan Wehea tampak mencolok di tengah hamparan hijau pepohonan, menggambarkan persinggungan antara aktivitas manusia, satwa liar dan alam. © YKAN

Perspektif

Berada di Hutan Lindung Wehea

Cerita ini adalah bagian dari tulisan  Matt Miller; Cerita dari Hutan Kalimantan dan Pertemuan Dengan Orang Utan di Taman Nasional Kutai, yang merupakan cerita dari perjalanannya dengan YKAN bersama mitra-mitranya yakni, TNC dan Arhaus pada Januari 2025, di pedalaman hutan Kalimantan Timur.

Baca juga: Acara Temu Mitra Donor Individu bersama Mama Almina

Ternyata masih ada hutan yang dilindungi di Kalimantan Timur, namanya adalah Hutan Lindung Wehea. Bagaimana kondisinya? Yuk simak cerita serunya;

Harmoni Jalan yang membelah lebatnya Hutan Wehea tampak mencolok di tengah hamparan hijau pepohonan, menggambarkan persinggungan antara aktivitas manusia, satwa liar dan alam. © YKAN

Taman nasional yang dikelola dengan baik seperti Kutai tetap vital bagi orang utan. Namun, saat kami berkendara menuju pemberhentian berikutnya, Ruslandi, direktur program terestrial YKAN, mengatakan padaku bahwa hampir 80% orang utan di Kalimantan ditemukan di luar kawasan lindung. Dan banyak di antaranya ditemukan di sekitar desa-desa.

Menurut Ruslandi, untuk melestarikan orang utan dibutuhkan hutan yang sehat, tetapi kemitraan dengan masyarakat lokal juga sama pentingnya. Kami sekarang sedang dalam perjalanan untuk mengunjungi salah satu proyek konservasi yang dipimpin masyarakat tersebut.

Saat ini, jalan-jalan dipenuhi perkebunan kelapa sawit. Banyak lereng bukit telah dialihfungsikan menjadi tambang batu bara, entah bagaimana mengingatkanku pada masa mudaku di Pennsylvania. Namun, Ruslandi memastikan bahwa habitat utuh yang luas dan saling terhubung masih ada. Jika dilindungi, mereka akan cukup untuk menjamin kelangsungan hidup orang utan di masa depan.

Petkuq Mehuey Aktivitas patroli rutin yang dilakukan oleh kelompok penjaga hutan 'Petqu Mehuey' dalam bahasa dayak, di Wehea. © Peter Larson
Ibu dan Anak Seekor induk orang utan bersama anaknya terekam jelas oleh kamera trap saat melintasi Hutan Wehea. © YKAN

Kami segera tiba di pos jaga Nehas Liah Bing, desa terbesar masyarakat Dayak Wehea.

“Hutan Wehea memiliki salah satu populasi orang utan tersehat di Kalimantan Timur, sebanding dengan Taman Nasional Kutai,” kata Ruslandi.

Itulah sebabnya YKAN mendukung desa tersebut dalam upayanya melindungi 71.000 hektare hutan Wehea, serta mengelola 1,3 juta hektare hutan secara berkelanjutan di lanskap yang lebih luas. YKAN bekerja sama dengan masyarakat dalam melakukan pemantauan, penelitian, dan penegakan hukum. Elemen kunci dari perlindungan hutan adalah tim penjaga hutan.

Rombongan kami memasuki padang rumput terbuka, dan kami disambut oleh pemimpin masyarakat di sini, Ledjie Taq dan putrinya, Yuliana Wetuq, yang merupakan pemimpin penjaga hutan. Ledjie menyambut kami sebagai saudara dan saudari dalam masyarakatnya, dan melakukan ritual untuk memastikan kunjungan kami menyenangkan.

Para penjaga hutan yang memimpin rombongan kami menyusuri hutan hari ini adalah anggota masyarakat muda yang melindungi hutan dari perburuan liar dan penebangan pohon ilegal. Mereka juga memiliki banyak peran lain, termasuk memantau satwa liar, berpartisipasi dalam penelitian, dan memandu pengunjung.

"Penjaga hutan membuat perbedaan besar," jelas Eddie Game, ilmuwan utama dan direktur konservasi untuk Wilayah Asia Pasifik TNC, sekembalinya dari perjalanan. "Di hutan tanpa penjaga hutan, seringkali hanya ada sedikit area hutan yang dibuka untuk pertanian. Ini akan terus bertambah."

Seorang penjaga menunjuk ke atas pepohonan: kali ini bukan orang utan, melainkan sebuah tanda keberadaannya. Dedaunan dan ranting-ranting telah dibangun menjadi semacam timbunan tinggi di atas lantai hutan. Itu sarang orang utan. Salah satu pemandu kami mengatakan bahwa mereka membangun sarang ini setiap hari, meninggalkan jejak keberadaan mereka yang dapat diverifikasi.

Pendakian kami sekali lagi terganggu oleh hujan badai yang tiba-tiba dan dramatis. Dengan jas hujan yang basah kuyup, kami berjalan menembus hutan kembali ke pondok penginapan kami.

Saat melepas sepatu bot di pintu masuk pondok penginapan, hampir seluruh kakiku mengucurkan darah ke lantai. Lintah, dan rupanya ini adalah bagian dari kehidupan di hutan di sini. Pengisap darah kecil ini hinggap di daun tanaman, lalu menempel pada hewan (termasuk manusia) saat mereka melewatinya.

Nature Hero Ledjie Tag, Nature Hero YKAN, ditemani oleh pemuda penjaga hutan Wehea. © Peter Larson

Pada saat malam, Ledjie Taq dan Ruslandi mengeluarkan laptop dan menunjukkan rekaman kamera jebakan yang dipasang para peneliti di sekitar Wehea. Kamera-kamera tersebut menampilkan banyak gambar orang utan, serta hewan lain yang lebih sulit ditemukan seperti beruang madu dan macan dahan. Sebuah kamera jebakan yang dipasang di sini beberapa tahun lalu berhasil menangkap gambar lutung Miller, spesies monyet yang diyakini telah punah dua dekade lalu. Hutan di sini cukup lebat dan terpencil untuk menampung beberapa tempat persembunyian terakhir. Upaya penelitian selanjutnya membuktikan bahwa populasi spesies ini masih ada di hutan Wehea.

Aku bangun pagi-pagi di kamar kecilku, karena mendengar teriakan-teriakan keras di luar. Di dekat tempatku, siamang sedang melakukan rutinitas pagi mereka, saling bersahutan sambil berayun-ayun di antara tajuk pohon di atas. Kaki mereka tak pernah menyentuh tanah, dan ini menggambarkan betapa kehidupan di sini sangat bergantung pada hutan yang terhubung. Ketika hutan menjadi terlalu tipis untuk memungkinkan pergerakan semacam ini—atau ditebang habis—para primata akan meninggalkan area tersebut.