SMMA
Keterangan Foto Pemandangan aerial Suaka Margasatwa Muara Angke. © Dzimar Prakoso/YKAN

Perspektif

Keanekaragaman Burung dan Reptilia Terkini di Suaka Margasatwa Muara Angke

Oleh Topik Hidayat, Mangrove Science Officer

Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA) merupakan bagian dari kawasan hutan mangrove Tegal Alur-Angke Kapuk yang pertama kali ditetapkan sebagai cagar alam melalui Keputusan Gubernur Jenderal Belanda No. 24 tanggal 18 Juni 1939 dengan luas 15,40 hektare.

Pada tahun 1998, kawasan ini menjadi suaka margasatwa dengan luas 25,02 hektare karena memerlukan pengelolaan yang lebih intensif untuk mendukung populasi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan burung air. Kawasan ini merupakan kawasan burung penting (Important Bird Area/IBA), sebagai habitat burung bubut jawa (Centropus nigrorufus) dan tempat mencari makan bangau bluwok  (Mycteria cinerea).

Data yang dihimpun Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jakarta tahun 1982 – 1996 menunjukkan bahwa di SMMA terdapat 95 spesies burung dan 6 spesies reptil. Namun, berdasarkan pengamatan terakhir, hanya ditemukan 57 spesies burung (pada 2021) dan 4 spesies reptil (pada 2019).   

Pemandangan aerial Suaka Margasatwa Muara Angke.
Keterangan Foto Pemandangan aerial Suaka Margasatwa Muara Angke. © Dzimar Prakoso/YKAN

Keanekaragaman jenis burung dan reptil di SMMA cenderung dinamis karena terjadi perubahan kondisi lingkungan di dalam dan luar kawasannya, seperti berkurangnya habitat (ekosistem mangrove), hilangnya feeding ground yang diinvasi oleh tumbuhan invasif, permasalahan hidrologi, dan adanya konversi hutan mangrove di sekitar SMMA menjadi pemukiman.

Proses Pemulihan ekosistem

Sejak 2018, BKSDA Jakarta bermitra dengan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) dan pemangku kepentingan terkait, melalui program Mangrove Ecosystem Restoration Alliance (MERA). Program utama MERA di SMMA adalah Penguatan Fungsi Kawasan sebagai Pusat Edukasi Lingkungan dan Restorasi Ekosistem Mangrove untuk Mendukung Pengelolaan Terpadu Ekosistem Mangrove di Jakarta.

Pendekatan yang digunakan adalah Nature-Based Solution, yaitu memulihkan lingkungan dan mengkondisikan agar hutan mangrove dapat beregenerasi secara alami. Di tahun 1 dan 2, MERA melakukan baseline study yang menghasilkan dokumen “Rencana Pemulihan Ekosistem” dan “Masterplan Pengembangan Kawasan”. Barulah di tahun 3 hingga 5, implementasi program dilaksanakan, mulai dari pemulihan ekosistem, pembangunan sarana-prasarana, hingga kegiatan edukasi.

Beberapa kegiatan restorasi ekosistem di SMMA yang telah dilakukan antara lain  pembersihan jenis tumbuhan invasif (2,54 ha), penyiapan lahan (1,23 ha), dan perbaikan hidrologi (5.995 m2).

Kegiatan tersebut dilakukan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan mangrove, baik secara alami maupun melalui kegiatan penanaman. Selain itu juga dilakukan pembangunan infrastruktur seperti gapura, jalan lintas atau boardwalk (panjang 338 meter), gedung Pusat Edukasi Mangrove (luas 143 m2), menara pengawas setinggi 16,5 meter, dermaga (18 m2), penghalang sampah (panjang 203 m), persemaian mangrove (luas 200 m2), dan persemaian Ficus/ara (luas 28 m2). Adanya sarana dan prasarana ini mendukung pengelolaan kawasan secara lebih efektif dan efisien. Boardwalk dan menara pengawas memudahkan petugas pengawas menjangkau wilayah pengawasan yang lebih luas.

Di samping itu, kawasan SMMA kini juga dilengkapi dengan kamera CCTV dan ruang kontrol/pengawas yang membantu mengawasi keamanan kawasan, pemantauan biodiversitas, sekaligus mencegah terjadinya konflik antara warga dengan monyet ekor panjang.

Pascarestorasi

Setelah proses pemulihan ekosistem selama kurun lima tahun, pada Desember 2022 hingga Januari 2023 dilakukan kajian dampak restorasi ekosistem terhadap keanekaragaman burung dan reptil di kawasan SMMA dengan membandingkan data sebelum restorasi untuk menganalisa dampak (positif, negatif, atau netral) dari kegiatan yang telah dilakukan.

Habitat burung dan reptil di SMMA ini masih beragam, walau tumbuhan invasif eceng gondok berkembang kembali dan menutup hampir seluruh perairan rawa, sehingga berpotensi terjadi pendangkalan kembali dan menurunkan luasan habitat mencari pakan bagi burung air. Satwa burung dan reptil memanfaatkan semua tipe habitat di kawasan tersebut, termasuk di wilayah darat di dalam kawasan, wilayah darat di batas-batas tepi kawasan, tepian Sungai Angke di batas sebelah timur, Muara Sungai Angke, dan rawa - tepian Sungai Pandan.

Dalam hal jumlah, Suaka Margasatwa ini dapat menampung satwa dalam jumlah yang cukup memadai. Beberapa jenis burung (kuntul kecil, blekok sawah, kuntul besar, bondol peking, punai gading, kerak kerbau) dan reptil (biawak air dan bunglon taman) dapat ditemukan dalam jumlah cukup besar.

Hasil kajian mencatat terdapat 60 jenis burung (20 jenis burung air dan 40 jenis burung terestrial) dan 16 spesies reptil. Artinya, terjadi peningkatan pada masa pascarestorasi. Dari 57 menjadi 60 spesies burung; dan dari 10 menjadi 16 spesies reptil.

Di sisi lain, jumlah individu burung pasca restorasi menurun, sementara jumlah sebagian besar spesies reptil meningkat. Jenis yang diperhatikan dari awal dan dikhawatirkan akan menghilang, yakni bubut jawa, bangau bluwok, dan buaya muara, masih dapat teramati di areal yang diteliti, walau jumlahnya berkurang (kedua jenis burung) atau tetap (buaya muara).

Komposisi burung dan reptil ini mengalami banyak perubahan pasca restorasi. Beberapa jenis burung mengalami peningkatan dari sisi jumlah (dampak positif), seperti itik benjut, kokokan laut, cucak kutilang, caladi tilik, bondol peking, punai gading, kacamata biasa, dan cabai jawa. Jenis burung air yang kelimpahannya meningkat adalah pecuk-ular asia dan kuntul besar, yang kemungkinan besar adalah burung pendatang.

Sementara itu, jenis burung yang berkurang secara drastis adalah caladi ulam, remetuk laut, burung-gereja erasia dan bondol jawa. Bubut jawa, jenis burung endemik Pulau Jawa, juga mengalami penurunan setelah restorasi. Adapun untuk reptil, hampir semua jenis bertambah jumlahnya, kecuali katak sawah dan cekibar yang bahkan tidak teramati lagi.

Analisis terhadap distribusi spesies burung dan reptil menunjukkan bahwa distribusi spesies-spesies tersebut sangat dinamis. Sebagian besar spesies burung telah mengalami perubahan distribusi, sementara spesies reptil banyak pula yang distribusinya lebih meluas.

Kajian dampak, khususnya bagi komunitas burung yang memiliki kemampuan terbang tinggi, tentunya tidak terlepas dari faktor-faktor di luar SMMA (faktor eksternal). Banyak burung yang bukan merupakan penghuni tetap kawasan ini. Beberapa burung dapat diketahui merupakan burung migran dan burung pendatang dari areal sekitarnya. Spesies-spesies burung ini dengan mudah dapat absen dari SMMA selama dan sesudah restorasi. Selain itu, burung dapat juga berpindah ke Hutan Lindung Angke Kapuk yang berbatasan langsung dengan kawasan SMMA secara temporer. Untuk reptil, kemungkinan besar semua spesies merupakan penghuni tetap, walau beberapa spesies (kura-kura ambon, labi-labi cina dan kura-kura pipi-putih) diduga merupakan lepasan dari masyarakat sekitar.

Salah satu spesies ular, yaitu ular-pucuk mata-merah (Ahaetulla cf. rufusoculara) yang ditemukan di areal penelitian merupakan temuan jenis baru yang memerlukan studi lebih lanjut. Ular ini diketahui hanya terdapat di Vietnam dan belum pernah terdata di Indonesia. Studi lebih lanjut tentang kepastian jenis ini perlu dilakukan pada masa mendatang.

Kuantitas (luas) dan kualitas habitat SMMA masih dapat ditingkatkan dengan dengan melakukan penambahan areal melalui revisi penetapan kawasan untuk memasukan tanah timbul di sekitarnya sebagai bagian SMMA (sedang berlangsung), melindungi kawasan dari kegiatan ilegal, dan melanjutkan upaya restorasi yang salah satunya dengan membersihkan eceng gondok. Eceng gondok yang menutupi sebagian besar permukaan air akan menghalangi burung-burung tertentu, misalnya itik benjut, pecuk hitam dan pecuk ular untuk mencari pakan.