Pulau Bengkalis, yang berbatasan langsung dengan Selat Malaka, merupakan pulau yang unik. Pulau seluas 911 km2 yang hampir seluruhnya merupakan area gambut ini pesisirnya dikelilingi oleh hutan mangrove. Kombinasi gambut dan mangrove di Pulau Bengkalis menghasilkan kemampuan penyimpanan karbon yang tinggi, bahkan dapat mencapai 1.969 ton C/ha (YKAN, 2022), di atas rata-rata stok mangrove karbon Indonesia yang berkisar antara 442 hingga 1.567 ton C/ha.
Baca juga: Prototipe Produk Bioprospeksi yang Terinspirasi Dari Tumbuhan Pakan Orang Utan
Akan tetapi, mangrove di Pulau Bengkalis telah berkurang lebih dari 1.207 ha (setara dengan 1.724 lapangan sepak bola standar FIFA) pada periode 1990–2019 (YKAN, 2020). Berkurangnya hutan mangrove turut berkontribusi terhadap erosi di pulau ini. Kawasan Pulau Bengkalis yang paling terdampak adalah pesisir yang sudah tidak memiliki mangrove dengan laju erosi mencapai 3 meter/tahun.

Beberapa penyebab degradasi hutan mangrove di Pulau Bengkalis adalah tambak intensif, perkebunan, permukiman, namun ancaman paling signifikan adalah penebangan kayu untuk arang. Di pesisir timur Pulau Bengkalis, jantung hutan mangrove yang menyimpan 22% mangrove di pulau ini, tersebar 13 pabrik (panglong) arang. Panglong arang tersebut memiliki segmen pasar yang cukup luas, bahkan hingga ke Singapura dan Malaysia. Setiap panglong arang per tahunnya mampu mengolah sekitar 3.300 pohon mangrove, yang diperkirakan setara dengan 2 ha hutan mangrove.
Di samping ketergantungan masyarakat lokal terhadap sumber ekonomi ekstraktif, kurangnya pemahaman masyarakat terkait arti penting mangrove dan peraturan yang ada turut menciptakan kondisi acuh terhadap perubahan linkungan sekitar. Terlebih lagi, status kawasan hutan mangrove di Pulau Bengkalis sebagian besar fungsi kawasannya adalah Hutan Produksi Terbatas (HPT), bukan hutan lindung, sehingga rentan terhadap alih fungsi.
Program Aliansi Mangrove YKAN di Riau dan Bengkalis
Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) menginisiasi program pengelolaan mangrove terpadu di Provinsi Riau melalui platform Mangrove Ecosystem Restoration Alliance (MERA) sejak 2022. Program ini bertujuan untuk mewujudkan tata kelola mangrove terpadu di tingkat provinsi, sekaligus memperkenalkan pendekatan Nature based Solution (NbS) untuk pengelolaan mangrove di tingkat desa.
Di tingkat provinsi, platfotm MERA menginisiasi pembentukan Kelompok Kerja Mangrove Daerah (KKMD) Provinsi Riau yang disahkan oleh Gubernur Riau pada Juni 2022. Forum multipemangku-kepentingan ini merupakan mandat dari Kemenkomarves untuk mengelola mangrove seluas 226.000 ha di Provinsi Riau. Setelah itu, pada 2023, YKAN juga membantu KKMD Riau untuk menyusun Rencana Aksi KKMD Riau. Rencana Aksi ini akan menjadi pedoman pengelolaan, perlindungan, dan pemulihan eksoistem mangrove terpadu di Riau, sehingga tidak ada tumpang tindih pelaksanaan antar-lembaga, dari tingkat provinsi hingga desa.
Di tingkat desa, YKAN memperkenalkan pendekatan NbS, yang berfokus pada pengelolaan dan perlindungan mangrove, di Desa Teluk Pambang, Kabupaten Bengkalis, sebagai lokasi percontohan. Pengelolaan dan perlindungan mangrove yang ada harus menjadi prioritas dibanding rehabilitasi mangrove. Mekanisme perlindungan memiliki berbagai opsi mulai dari peraturan desa, perhutanan sosial, hingga partisipasi masyarakat dalam bentuk patroli dan pengawasan.
Mencegah kehilangan hutan mangrove yang ada akan lebih berarti dibanding harus menanam ulang. Kajian YKAN (2024) di Provinsi Bangka Belitung menunjukkan bahwa mangrove hasil rehabilitasi yang berusia 3 – 5 tahun hanya mampu menyimpan karbon sekitar 1/6 dari total simpanan karbon mangrove alami yang masih baik. Kusumangnityas dkk (2021) menjelaskan, untuk dapat mencapai penyimpanan karbon yang maksimal, mangrove perlu waktu puluhan hingga ratusan tahun.



Desa Teluk Pambang menyimpan 950 ha hutan mangrove, namun desa ini telah kehilangan 133 ha mangrove selama 2016 – 2021 (Universitas Riau dan YKAN, 2025). Hal ini terjadi akibat penebangan pohon mangrove untuk arang dan alihfungsi menjadi tambak udang intensif. Hingga 2021, fungsi kawasan hutan mangrove di Desa Teluk Pambang adalah sebagai Hutan Produksi Terbatas (HPT).
Partisipasi masyarakat untuk melindungi mangrove saat itu belum begitu banyak, apalagi sebagian kelompok masyarakat menggantungkan hidupnya pada usaha arang. Oleh karena itu, YKAN berupaya meningkatkan partisipasi masyarakat untuk melindungi hutan mangrove di desanya, sekaligus membuka mekanisme untuk mendapat hak mengelola dan memperoleh sumber penghidupan ekstraktif dari hutan mangrove.
Langkah awal yang dilakukan YKAN adalah menginisiasi perlindungan mangrove di Desa Teluk Pambang melalui peraturan desa yang dikeluarkan pada 2023 dengan cakupan 950 ha mangrove. YKAN juga memfasilitasi masyarakat memperoleh legalitas pengelolaan kawasan mangrove selama 35 tahun melalui skema perhutanan sosial yang disahkan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, yang juga membuka peluang ekonomi berkelanjutan bagi masyarakat.
Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat lokal, sekaligus menjamin keberlanjutan program mangrove, YKAN menggunakan pendekatan Community-based Management (CBM). Melalui pendekatan ini, masyarakat ditempatkan sebagai subjek konservasi, bukan objek. Kelompok masyarakat dilibatkan dalam seluruh proses konservasi, mulai dari identifikasi masalah, perumusan solusi, penentuan keputusan, hingga kesempatan untuk memimpin kegiatan. Proses ini diharapkan dapat menumbuhkan rasa kepemilikan bagi kelompok masyarakat, sehingga ketika program selesai, masyarakat lokallah yang akan melanjutkan pengelolaan mangrove.
Dalam pendekatan CBM, restorasi mangrove bukan sekadar aktivitas penanaman, namun merupakan pemulihan ekosistem secara keseluruhan. CBM bertujuan untuk menciptakan kondisi ideal bagi alam untuk beregenerasi secara alami tanpa harus selalu ditanam oleh manusia.
Langah restorasi mangrove YKAN dimulai dengan perencanaan yang disusun berdasarkan riset ilmiah. Perencanaan ini kemudian digunakan sebagai panduan bagi tim restorasi mangrove dalam menentukan intervensi yang paling relevan untuk setiap kondisi area restorasi.
Beberapa contoh intervensi di antaranya adalah perbaikan hidrologi agar sirkulasi pasang surut air berjalan lancar sehingga benih mangrove dapat tersebar dan tumbuh baik; pembabatan semak belukar untuk memberi ruang bagi benih mangrove yang jatuh untuk tumbuh; serta pemasangan pagar kayu di bibir pantai yang rawan abrasi untuk memerangkap sedimen untuk menjadi tempat tumbuhnya benih mangrove.

Penanaman bibit mangrove hanya dilakukan di area yang belum memungkinkan untuk terjadinya regenerasi alami, misalnya di pantai yang rentan terhadap paparan ombak besar. Intervensi penanaman yang dilakukan misalnya penggunaan pagar kayu dengan jaring untuk meredam terpaan ombak. Metode ini dapat meningkatkan survival rate bibit, dari 0% menjadi lebih dari 50%.
Hasil Program
Setelah berkegiatan selama 3 tahun (2022 – 2024) di Desa Teluk Pambang dengan dukungan dari HSBC Indonesia, pendekatan NbS YKAN telah menunjukkan sejumlah bukti capaian. Sejak 2022 – 2024, masyarakat/Pemerintah Desa Teluk Pambang dan YKAN berhasil mengurangi laju degradasi hutan mangrove secara signifikan sebesar 96%, dari rata-rata 27 ha per tahun (2016 – 2021) menjadi 1 ha per tahun (2022 – 2024). Hal ini tercapai atas dua hal, pertama adalah terwujudnya peraturan desa tentang perlindungan mangrove sekaligus perhutanan sosial yang mencakup kawasan mangrove seluas 950 ha.
Kedua, pelibatan masyarakat desa melalui pendekatan CBM mampu meningkatkan partisipasi masyarakat desa untuk mengelola dan melindungi mangrove, dari yang awalnya hanya 5 orang menjadi 170 orang, yang diiringi dengan peningkatan persepsi terkait pentingnya perlindungan mangrove. Tak hanya itu, kelompok mangrove ini juga dibekali dengan kemampuan teknis seperti restorasi, perlindungan, monitoring, hingga penggunaan tools seperti aplikasi peta Avenza dan pemantauan mangrove berbasis internet. Kelompok juga dibekali kemampuan non-teknis seperti tata kelola organisasi, administrasi, pelaporan program, hingga penyusunan proposal).
Perhutanan sosial juga memberi kesempatan dan hak bagi kelompok desa untuk memperoleh sumber penghidupan melalui Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS), sekaligus kewajiban dan tanggung jawab untuk melindungi kawasan tersebut. Saat ini sudah ada dua KUPS di Desa Teluk Pambang yang memperoleh sumber penghidupan alternatif dari hutan mangrove, yaitu KUPS lebah madu dan KUPS biota mangrove (yang produknya meliputi buah tanah, lokan, siput, kepiting, sepetang, sekunci).

Restorasi ekosistem mangrove di Teluk Pambang juga mulai membuahkan hasil. Pendekatan restorasi lingkungan berhasil menunjukkan peningkatan kualitas lingkungan yang ditunjukkan dari munculnya regenerasi alami benih mangrove di seluruh plot monitoring seluas 120 ha. Tutupan pohon mangrove hasil restorasi ini diperkirakan dapat terbaca oleh satelit dalam 3 – 5 tahun ke depan.
Berdasarkan perjalanan program mangrove YKAN di Teluk Pambang selama tiga tahun, capaian ini menunjukkan bahwa pendekatan NbS sangat relevan untuk mengurangi laju degradasi mangrove, meningkatkan kualitas ekosistem, sekaligus meningkatkan partisipasi masyarakat untuk mengelola dan melindungi mangrove. Dua pendekatan ini dapat menjadi contoh yang dapat direplikasi di lokasi lain sebagai model pengelolaan berkelanjutan.