Buaya Air Asin
Keterangan Foto Penampakan buaya di Desa Gantung, Kabupaten Belitung Timur. © YKAN

Perspektif

Habitat Rusak, Buaya Air Asin Ancam Manusia

Sepanjang tahun 2010–2019, tercatat 665 kasus serangan buaya air asin (Crocodylus porosus) terhadap manusia di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 47% berakhir dengan kematian. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menempati peringkat ketiga dalam jumlah serangan, dengan 67 kasus yang menyebabkan 27 korban meninggal. Serangan ini umumnya terjadi saat manusia memancing, mandi, atau bekerja di sekitar sungai atau muara. Salah satu penyebab utama meningkatnya konflik ini adalah kerusakan habitat buaya, baik untuk berkembang biak maupun untuk mencari mangsa.[1]

Baca juga: Menjalin Kemitraan Mendukung Pengelolaan Lanskap Kayan

Saat ini, buaya air asin adalah spesies reptil terbesar yang merayap di muka Bumi. Mereka dapat hidup hingga 70 tahun. Pejantan dewasa rata-rata memiliki panjang hingga lima meter dengan berat mencapai 450 kilogram,[2] sementara buaya betina dapat bertelur hingga 50 butir dalam satu masa reproduksi.[3] Menurut data dari Steve Irwin Wildlife Center, buaya air asin dikenal memiliki kemampuan luar biasa, seperti menahan napas di dalam air untuk berkamuflase hingga delapan jam, sehingga menjadikannya sebagai predator yang sulit diprediksi.[4]

Keterangan Foto Penampakan buaya di Desa Gantung, Kabupaten Belitung Timur. © YKAN

Sebagai predator puncak, buaya air asin memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Namun, interaksi mereka dengan manusia sering kali berakhir tragis, yang menyebabkan spesies ini kerap dianggap sebagai ancaman. Habitat utama buaya air asin salah satunya adalah hutan mangrove, yang merupakan habitat yang paling produktif di Bumi. Hutan mangrove menyediakan beragam sumber makanan, seperti ikan, kepiting, burung, monyet, hingga babi hutan, yang menjadi bagian penting dalam rantai makanan bagi buaya air asin.

YKAN bekerja di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sejak 2024 melalui program yang bertajuk Serumpun Babel (konSERvasi hUtan Mangrove PUNnya BAngka BELitung). Program ini bertujuan untuk melestarikan hutan mangrove, meningkatkan kerentanan masyarakat pesisir terhadap perubahan iklim, serta meningkatkan sumber penghidupan mereka.

Masyarakat pesisir perlu melakukan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, selain meminimalkan serangan buaya tanpa mengorbankan aktivitas penghidupan sehari-hari. Melalui Program Serumpun Babel, kami mendukung pemerintah, masyarakat pesisir, dan mitra setempat dalam merestorasi mangrove yang hutan dan melindungi ekosistem mangrove yang masih baik. Restorasi dan perlindungan mangrove tidak hanya bermanfaat untuk habitat buaya, tetapi juga untuk keberlanjutan ekonomi dan lingkungan masyarakat pesisir. Ekosistem mangrove yang sehat dapat meningkatkan hasil perikanan, melindungi garis pantai dari abrasi, mengurangi emisi karbon serta mendukung keseimbangan ekosistem yang lebih luas.


 

[1] Ardiantiono dkk, “Integrating social and ecological information to identify high-risk areas of human-crocodile conflict in the Indonesian Archipelago”, Biological Conservation Vol. 280, April 2023. <https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0006320723000654>

[2] National Geographic, “Saltwater Crododile”. <https://www.nationalgeographic.com/animals/reptiles/facts/saltwater-crocodile>

[3] Oceana, “Saltwater Crocodile (Crocodylus porosus)”. <https://oceana.org/marine-life/saltwater-crocodile/>

[4] Australia Zoo, “Saltwater Crocodile”. <https://australiazoo.com.au/wildlife/our-animals/saltwater-crocodile/>