Gunung Kerinci
Illustrasi Pemandangan gunung Kerinci dari Muaralabuh © Ririsapoetra/Commons Wiki

Perspektif

Cinta Tulus Rita Wati pada Maha Taman di Kaki Gunung Kerinci

Masih adakah yang tulus mengabdi memanjakan hutan dengan tangan dan kakinya? Menjadikan hutan maha taman tempat bekerja? Menjadikan hutan jalan ibadah kepada Tuhan? Pertanyaan yang tak mudah untuk dijawab, namun perlu disimak dari perjalanan seorang perempuan ini.

Adalah Rita Wati (53), yang lahir dan besar di desa yang menyangga kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), tepatnya di Desa Pal VIII, Kecamatan Bermani Ulu Raya, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu.

TNKS merupakan salah satu taman nasional terbesar di Indonesia. Wilayahnya membentang di empat provinsi, yakni Bengkulu, Jambi, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan. Di Provinsi Bengkulu, luas TNKS adalah 348.841 hektare dan melingkupi wilayah 105 desa di empat kabupaten. Salah satunya adalah Kabupaten Rejang Lebong, tempat Rita bermukim.

Bagi Rita, hutan merupakan sumber kehidupan, terlebih bagi perempuan. Perempuan paling utama terdampak kalau hutan rusak. Kebutuhan air bersih untuk berbagai kebutuhan harian, bersumber dari hutan yang terjaga kondisinya. Alasan tersebut yang memicu Rita mengabdi tulus mengelola hutan dan menjaganya tetap lestari. Dia merupakan pionir yang sampai saat ini menjabat sebagai Ketua Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) Maju Bersama yang mengelola TNKS.

Illustrasi Pemandangan gunung Kerinci dari tempat wisata Swarga. © Muhamad Izzul Fiqih/Commons Wiki

Membangun kesadaran bersama

Awalnya, Rita tidak pernah berpikir untuk terlibat mengelola dan melestarikan TNKS. Kesadaran tersebut mulai muncul ketika pada akhir Mei 2017, ia mengikuti sebuah pelatihan yang menghadirkan perwakilan perempuan dari desa-desa penyangga TNKS. Dalam diskusi, mereka saling berbagi informasi tentang beragam dampak yang dialami desa penyangga TNKS, yang sebagian besar adalah petani. Minimnya ketersediaan air saat musim kemarau, munculnya serangan hama dan penyakit tanaman, dan mulai menurunnya kesuburan tanah, adalah beberapa dampak yang terasa. Musim tanam padi dan palawija juga mulai terganggu, hasil panen pertanian menjadi tidak menentu, risiko kegagalan panen meningkat, dan aktivitas berkebun, mengolah hasil panen, mencari upah, dan aktivitas sosial kemasyarakatan juga terganggu.

Pertemuan dengan para wakil perempuan itu pun membawa kesadaran baru bahwa perempuan juga punya hak dan berpartisipasi dalam pelestarian kawasan hutan. Rita tergerak untuk membentuk kelompok guna memperjuangkan hak-hak perempuan terkait hutan dan lingkungan hidup. Bersama tiga orang perempuan Desa Pal VIII lainnya yang juga mengikuti pelatihan, dia mengundang puluhan perempuan lainnya untuk menghadiri pertemuan di Balai Desa Pal VIII pada 9 Juli 2017.

Namun, hanya 13 orang perempuan yang hadir. Kendati begitu, semangatnya tidak surut. Dalam pertemuan, dia mendiskusikan arti penting hutan bagi kehidupan, penghidupan dan pengetahuan perempuan, dan dampak negatif kerusakan hutan bagi perempuan.

Alhasil, pertemuan menyepakati pembentukan kelompok yang diberi nama Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) Maju Bersama dan Rita didapuk sebagai ketua. Sempat diragukan oleh orange sekitar, Rita mengatur langkah strategis dengan membuka pintu komunikasi dengan berbagai pemangku kepentingan. Baik dengan pihak TNKS, dengan tokoh adat, tokoh masyarakat dan warga desa, hingga ke jajaran pemerintah daerah.

Perjuangannya pun menuai hasil. Setelah tiga tahun berproses, pada 5 Maret 2019, Rita selaku Ketua KPPL Maju Bersama, menandatangani perjanjian kemitraan konservasi dan berhasil memperjuangkan hak berpartisipasi dalam pengelolaan dan pelestarian kawasan hutan dengan Balai Besar TNKS. KPPL Maju Bersama menjadi kelompok perempuan pertama di Indonesia yang terlibat mengelola kawasan hutan.

Rita mendapatkan hak akses memanen kecombrang liar dan membudidayakannya di Kawasan Hutan Madapi seluas 10 hektare pada zona tradisional TNKS. Kecombrang (Etlingera elatior) biasanya dimanfaatkan untuk rempah dan pangan lokal yang memiliki beragam manfaat dan potensial unutk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat. Sekarang, mereka telah mengembangkan dan memproduksi olahan kecombrang menjadi dodol dan minuman kemasan yang berkhasiat untuk kesehatan.

"Keterlibatan perempuan dalam pengelolaan hutan di Indonesia perlu didorong dan diperkuat. Sebab, jika terjadi kerusakan hutan, maka yang paling terdampak adalah perempuan", kata Ritawati.

Dalam kesehariannya, mereka juga berkegiatan dan belajar bersama dengan generasi muda yang tergabung dalam Kelompok Perempuan Penyelamat Situs Warisan Dunia (KPPSWD) untuk mengomunikasikan pengetahuan serta aspirasi perempuan desa dalam pengelolaan, pelestarian lingkungan hidup dan hutan yang merupakan sumber kehidupan, penghidupan serta pengetahuan perempuan.

Keberhasilan mereka memperjuangkan hak untuk berpartisipasi dalam pelestarian kawasan hutan juga memberikan beragam dampak positif. Bukan hanya bisa membangun usaha, tetapi juga berkesempatan untuk mengembangkan kapasitas, mempengaruhi kebijakan dan terlibat dalam pembuatan keputusan serta menjadi inspirasi bagi perempuan lainnya di empat desa penyanggah TNKS di Provinsi Bengkulu.

Keberhasilan Rita Wati dan KPPL Maju Bersama yang kini beranggotakan 25 orang telah menginspirasi perempuan di desa lain untuk memperjuangkan hak terkait hutan dan lingkungan hidup. Di Provinsi Bengkulu, setidaknya sudah terbentuk KPPL Karya Mandiri Desa Tebat Tenong Luar, Perempuan Alam Lestari Desa Batu Ampar, KPPL Sumber Jaya Desa Karang Jaya, KPPL Karya Bersama Desa Sambirejo dan KPPL Sejahtera Desa Sumber Bening.*(AM)

Nature Award

Rita Wati terpilih sebagai salah satu penerima penghargaan Nature Award yang diberikan YKAN berdasarkan lomba cerita ‘Perempuan untuk Alam’ dalam rangka memeringati Hari Bumi 2022.