Lahan Basah, Kalbar.
Keterangan Foto Kanal di ekosistem lahan gambut. Saluran gambut ini berada di hutan sekunder. © YKAN

Perspektif

Urgensi Menjaga Lahan Basah untuk Kehidupan yang Lestari

Yayasan Konservasi Alam Nusantara menghelat sebuah diskusi dengan tema “Menuju Lahan Basah Lestari” pada 1 Februari 2023 di @america, Pacific Place, Jakarta. Diskusi tersebut digelar dalam rangka memperingati Hari Lahan Basah Sedunia yang dirayakan setiap tanggal 2 Februari.

Pemilihan tanggal tersebut diambil untuk memperingati hari ditandatanganinya konvensi lahan basah, yang disebut dengan Konvensi Ramsar, pada 2 Februari 1971 di Laut Kaspia, Kota Ramsar, Iran. Penetapan Hari Lahan Basah Sedunia ini bertujuan meningkatkan kesadaran global mengenai peran penting lahan basah bagi manusia dan bumi.

Secara ekologis, lahan basah sangat penting dengan keanekaragaman hayati yang tinggi dan beragam ekosistemnya. Lahan basah—yang mencakup rawa-rawa, gambut, dan mangrove—juga menjadi solusi untuk mengendalikan banjir, melestarikan kualitas air, melindungi dari erosi, menyerap karbon dioksida, dan menjadi habitat bagi beragam satwa endemik, yang sebagian di antaranya kini terancam punah. Lahan basah dapat menyerap karbon dioksida 3 kali lebih banyak daripada gabungan semua hutan di dunia, sehingga dapat membantu memperlambat pemanasan global dan mengurangi polusi. Oleh sebab itu, lahan basah sering disebut dengan ‘Ginjal Bumi.’

Diskusi ini menghadirkan 4 pembicara, Satyawan Pudyatmoko, Deputi Bidang Perencanaan dan Evaluasi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM); Muhammad Ilman, Direktur Program Kelautan YKAN; Amrullah Rosadi Technical Project Officer di Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF); dan Jasmin Doloksaribu, Head of Landscape Conservation &Health, Safety Environment Asia Pulp and Paper (APP) Sinar Mas.

Melestarikan Ginjal Bumi Lahan basah, dengan beragam tipe ekosistemnya, sangat penting bagi kelestarian Bumi. Menjadi solusi untuk mengendalikan banjir, melestarikan kualitas air, terhindar dari erosi, dan menjadi rumah bagi keberlangsungan aneka ragam hayati.

Restorasi lahan basah

Restorasi lahan basah di Indonesia secara resmi digawangi oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove.  Lembaga ini memiliki target pemulihan ekosistem gambut sekitar 1,2 juta hektare di tujuh provinsi prioritas dan rehabilitasi hutan mangrove 600 ribu hektare pada sembilan provinsi sampai 2024.

Untuk mempercepat pemulihan dan pengembalian fungsi hidrologis gambut yang rusak, BRGM saat ini fokus pada areal restorasi gambut di Provinsi Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan. Sementara untuk mangrove, area kerja BRGM ada di Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, dan Papua.

Satyawan Pudyatmoko, Deputi Bidang Perencanaan dan Evaluasi BRGM, menekankan, gambut harus dikembalikan menjadi ekosistem basah seperti sediakala sehingga dapat memitigasi perubahan iklim, juga meminimalisasi risiko terjadinya kebakaran lahan gambut yang berdampak pada terlepasnya emisi karbon, begitu juga dengan mangrove.

Dukung Gambut Lestari

Lahan gambut berkontribusi besar dalam mencapai target pengurangan emisi nasional.

Donasi

Kesadaran global akan pentingnya lahan basah sebagai strategi mitigasi perubahan iklim terbilang baru, yakni 15 tahun lalu. “Berdasarkan kajian YKAN, pengelolaan lahan basah dan hutannya bisa berkontribusi sebesar 37 persen dari target penurunan emisi (nasional/global),” jelas Muhammad Ilman, Direktur Program Kelautan YKAN.

Satyawan menambahkan, lahan basah yang banyak berkontribusi dalam menurunkan emisi rumah kaca jadi ambisi Pemerintah Indonesia di ranah global. Hal itu diwujudkan dengan komitmen menjaga suhu global dalam dokumen Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030. Indonesia telah menyampaikan peningkatan ambisi penurunan emisi gas rumah kaca melalui dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC), yang mencanangkan target penurunan emisi GRK Indonesia dengan kemampuan sendiri dari 29% meningkat ke 31,89% dan target dengan dukungan internasional sebesar 41% meningkat ke 43,20%.

Mengejar target 2030

“Di perjanjian internasional, kita pasang target 2030. Meredam laju perubahan iklim ibarat menahan laju truk yang akan meluncur ke bawah. Semakin telat kita memasang pengganjal, truk akan melaju semakin cepat dan semakin sulit untuk dihentikan,” jelas Ilman.

Sisa 7 tahun menuju 2030 bukan waktu yang lama, Ilman mengatakan, pelestarian lahan basah merupakan urgensi bersama yang diemban seluruh pemangku kepentingan.

Besarnya ekosistem lahan basah di Indonesia menjadi aset penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim berbasis alam yang lebih efektif dan berbiaya rendah. Berdasarkan kajian Natural Climat Solutions (NCS) atau Solusi Iklim Alami, ekosistem gambut dan mangrove berkontribusi sebesar 77 persen dari total potensi mitigasi. Dengan kata lain, ekosistem lahan basah adalah kunci untuk mencapai komitmen perubahan iklim Indonesia.

NCS merupakan serangkaian upaya mitigasi berbasis sumber daya alam yang mencakup perlindungan hutan dan lahan basah, perbaikan pengelolaan hutan, serta restorasi ekosistem hutan, gambut, dan mangrove. NCS di Indonesia mencakup 6 strategi, yakni reforestasi hutan, pembasahan kembali gambut yang terdegradasi, pencegahan kerusakan gambut, restorasi mangrove, pencegahan kerusakan mangrove, dan pengelolaan hutan lestari.

“Untuk mangrove, yang memiliki kepentingan banyak, pun yang mengelola banyak. Seringkali setiap pengelola punya goal masing-masing, ada yang ingin menanam dan ada yang ingin menebang. Mengingat adanya berbagai kepentingan, diperlukan regulasi unttuk mengatur dan mengharmoniskan beberapa kepentingan itu,” ujar Satyawan.

Ilman menegaskan, upaya merestorasi dan merehabilitasi mangrove membutuhkan biaya yang cukup besar dengan kompleksitas persoalan di dalamnya. Mangrove yang dikelola oleh masyarakat dapat mendulang nilai ekonomi yang tinggi. Untuk merestorasi hutan mangrove kembali ke fungsi semula, diperlukan adanya biaya kompensasi yang tidak sedikit. Dewasa ini, semakin banyak industri atau perusahaan yang punya minat besar untuk merestorasi mangrove, meski sektor industrinya tidak bergerak di hutan mangrove.

Salah satunya adalah APP Sinar Mas, yang tergabung dalam jaringan kemitraan Mangrove Ecosystem Restoration Alliance (MERA). Melalui program MERA, APP Sinar Mas bekerja sama dengan YKAN untuk melakukan program restorasi mangrove di dua wilayah. Yakni di Suaka Margasatwa (SM) Muara Angke, Jakarta, yang juga tengah dikembangkan sebagai pusat pendidikan lingkungan ekosistem mangrove, serta diOgan Komering Ilir, Sumatra Selatan untuk pengembangan pengelolaan pesisir terpadu.

“Kolaborasi multipihak begitu penting dalam upaya kita memitigasi perubahan iklim, yang tidak bisa dilakukan sendirian. Maka dari itu, salah satunya kita bermitra dalam MERA yang diinisiasi oleh YKAN. Selama kami bermitra, apa yang dilakukan sesuai dengan harapan, meski dalam implementasinya terus ada penyesuaian, melihat tipologi area dan keadaan masyarakat yang terus berubah,” tegas Jasmin Doloksaribu, Head of Landscape Conservation &Health, Safety Environment Asia Pulp and Paper (APP) Sinar Mas.

Amrullah Rosadi, Technical Project Officer di Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) menambahkan bahwa pengelolaan ekosistem lahan basah harus holistik. Pemuda juga perlu turut serta dalam melakukan rehabilitasi lahan basah. Ia berbagi pengalaman saat bekerja sama dengan kelompok-kelompok pemuda peduli lahan basah, yang melakukan berbagai aksi nyata, mulai dari penanaman mangrove secara rutin hingga melakukan sosialisasi peningkatan kompetensi masyarakat pesisir untuk memanfaatkan mangrove.

“Mulai dari membuat makanan dari buah tanaman mangrove, seperti bolu, steak, rempeyek. Kita latih masyarakat membatik, dengan memanfaatkan buah mangrove kering sebagai pewarna batik. Itu salah satu langkah agar masyarakat pesisir lebih menyadari lagi pentingnya lahan basah bagi mereka dan secara tidak langsung memberikan insentif, karena mereka adalah garda terdepan, yang menerima manfaat secara langsung,” tegasnya.

Konservasi lahan basah memang sejatinya tidak bisa berjalan sendirian dan terbatas pada beberapa kelompok. Proses rehabilitasi, bukan hanya penanaman, tapi pemberdayaan masyarakat yang hidup bergantung kepada eksistensi dari ekosistem lahan basah tersebut.

“Karena, kalau ekosistem ini rusak, yang pertama kali akan merasakan dampaknya adlaah masyarakat pesisir. Begitu juga kalau ekosistem ini terus lestari, masyarakat pesisir juga yang menerima manfaat secara langsung,” pungkas Amrullah.

Alam Membutuhkan Kamu!

Bantu kami menggaungkan pesan bahwa kita semua harus bertindak sekarang.

Donasi