Orang utan Kalimantan
Keterangan Foto Seekor orang utan berada diantara kanopi hutan wehea kelay. © Arif Rifqi/YKAN

Perspektif

Pertemuan dengan Orang Utan di Taman Nasional Kutai

Cerita ini adalah bagian dari tulisan  Matt Miller; Cerita dari Hutan Kalimantan, yang merupakan cerita dari perjalanannya dengan YKAN bersama mitra-mitranya yakni, TNC dan Arhaus pada Januari 2025, di pedalaman hutan Kalimantan Timur.

Baca juga: Melestarikan Bentang Laut Kepala Burung melalui Monitoring Terumbu Karang

Bagaimana penasarannya bertemu dengan orang utan yang terkenal itu? Seru ceritanya;

Hutan Bengalon Lanskap hutan lebat di Kutai Timur terbentang luas, menjadi habitat alami orang utan yang bergelantungan di antara kanopi; simbol ekosistem tropis yang masih terjaga. © Arif Rifqi/YKAN

Kami memulai petualangan ini di Taman Nasional Kutai, rumah bagi salah satu populasi orang utan terbesar di Kalimantan Timur. Selagi rombongan mengamati monyet, salah satu pemandu kami, seorang pria bugar berusia 20-an yang mengenakan celana pendek dan sandal, memberi isyarat agar aku mendekat; seekor orang utan telah terlihat di dekat sini. Semenit kemudian, ia melambaikan tangan untuk kami menyusuri jalan setapak di hutan. Rombongan mulai berlari kecil. Aku terus-menerus berusaha mengimbangi. Seorang pemandu di depan memberi isyarat bahwa ia telah melihat seekor orang utan. Kecepatan kami bertambah cepat dan kami pun keluar jalur.

Aku terpeleset lumpur, tersandung akar pohon. Hutan Indonesia berusia sekitar 140 juta tahun—hutan tropis tertua kedua di Bumi. Hutan ini merupakan pusat keanekaragaman hayati, rumah bagi tidak hanya orang utan tetapi juga beragam primata dan mamalia hutan hujan lainnya. Hutan-hutan ini juga berada di bawah ancaman yang sangat besar. Menurut David Gaveau, pendiri The TreeMap dan Nusantara Atlas—sebuah organisasi yang membandingkan data satelit historis dan modern untuk melacak deforestasi—Kalimantan Indonesia kehilangan 11 juta hektare hutan primer antara tahun 2001 dan 2023, dengan tambahan hektare yang hancur setiap tahunnya.

Celana cepat keringku robek terkena duri dari semak belukar. Kami berjalan menyusuri hutan, mendengarkan para pemandu berbisik pelan satu sama lain. Kami semakin dekat.

Kami mendekati sebuah pohon besar, dan Priscilla Christin, direktur komunikasi YKAN, menunjuk ke sebuah cabang yang tingginya 50 kaki dan berbisik, “Di sana, di pohon itu.”

Aku melihat, dan ... di sana. Sebuah lengan. Sebuah lengan panjang, merah, dan berbulu lebat terulur dan memetik sesuatu dari dahan. Aku mendekatkan teropong ke mataku untuk memfokuskan pandangan pada seekor orang utan jantan besar. Kami melayangkan pandangan yang lebih jauh saat ia berayun di antara pepohonan.

Orang utan itu tidak peduli dengan kekaguman kami padanya. Setelah beberapa menit, ia mulai menjatuhkan ranting-ranting pohon ke arah kami. Tindakannya ini lebih tampak seperti tindakan kesal daripada amarah. Ia melanjutkan rutinitasnya, bergerak di antara pepohonan dan memetik buah-buahan. Para pemandu saling tersenyum. Mereka kenal orang utan di sini, dan yang satu ini terkenal pemarah. Aku merasa hewan itu luar biasa: Meskipun ukurannya besar, ia bergerak dengan santai di antara pepohonan.

Si Penjaga Hutan Orang utan disebut "spesies payung" karena perannya menjaga ekosistem hutan. Keberadaannya melindungi spesies lain dan menjaga keseimbangan alam. Jika punah, banyak tumbuhan dan hewan lain ikut terancam. © YKAN

Ketika kami mendengar suara guntur, para pemandu memberi isyarat bahwa sudah waktunya kami kembali ke perkemahan utama. Aku melirik sejenak untuk terakhir kalinya. Lengan orang utan itu terulur dan melemparkan dahan yang sangat besar. Ia mendarat dengan bunyi gedebuk, mengundang tawa kecil dari kelompok kami. Orangutan itu menunduk, memperlihatkan wajahnya yang berbentuk mangkuk.

Lalu terdengar guntur lagi, kini lebih dekat, dan tetesan hujan. Orang utan itu berayun di antara pepohonan. Kami akan basah kuyup. Saatnya kembali.